Rima

ciliwung

Usianya baru masuk kepala dua, parasnya cantik jelita, Rima namanya. Setelah lulus SMA, ia tak sanggup melanjutkan sekolah mengejar gelar sarjana. Jangankan untuk bayar kuliah berjuta-juta, penghasilan orang tuanya hanya cukup untuk makan saja. Cita-citanya menjelajahi antariksa dihapus realita. Kini, Rima hanya ingin menjadi ibu rumah tangga yang setia dari seorang suami yang kaya harta. Itulah doa setiap gadis desa, jalan pintas dari bosannya hidup sebagai rakyat jelata.

Tuhan tak mengabulkan setiap doa, sebagian doa hanya bertumpuk dalam kantong asa. Sama dengan yang  menimpa Rima, pria yang melamarnya bukan berdarah istana, hanya seorang pedagang biasa, penjaja buah mangga. Harapan dan kenyataan sungguh berbeda, boro-boro cinta, tapi ayahnya sendiri yang memaksa.

Ayah Rima percaya, bahwa suatu malam ia mendapat wangsit dari sang maha pencipta. Melalui mimpi ia didatangi seorang kakek bermata tiga membawa buah mangga. Kakek itu memberikan buah mangga yang ia bawa sambil berkata: “Jangan bilang siapa-siapa.” Menurut ayahnya, mangga itulah pertanda, bahwa jodoh Rima ada sangkut pautnya dengan buah mangga. Kalau tidak dituruti, ayahnya percaya akan mendatangkan bala. Rima hanya bisa menerima, kawinlah mereka, ijab kabul di KUA.

Dua tahun lamanya, Rima menjalankan perannya sebagai ibu rumah tangga. Beranak dua, kembar pula. Setiap harinya disibukkan dengan pekerjaan yang itu-itu saja: mengepel rumah di dalam dan di muka, pergi berbelanja, memasak dan melayani suaminya bercinta. Semua itu ia lakukan dengan rela, demi terciptanya keluarga samawa. Sampai suatu ketika ia dibuat kecewa, suaminya pergi tiba-tiba, entah ke mana. Hanya sepucuk surat tergeletak di atas meja, di amplop suratnya tertera rangkaian aksara: Untuk Rima. Surat itu ia buka, lalu mulai membaca diiringi derai air mata:

“Rima istriku yang baik hati. Surat ini jujur dari dalam hati, bahwasanya aku sudah kembali beristri tanpa kau ketahui. Aku sudah kawin lagi, dengan anak Pak Haji bandar kwaci. Maka aku memilih untuk pergi, meninggalkan rumah sebesar kandang sapi menuju rumah baru yang megah dan asri. Aku pun dipercaya untuk menggantikan posisi Pak Haji sebagai direktur PT. Kwaci Mandiri. Si kembar akan aku bawa esok pagi, janganlah kau halangi, ini demi masa depan mereka nanti. Oh ya, terlampir surat perceraian yang harus kau tandatangani.”

Salam,
Bekas Suami

Rima diam seribu bahasa, hatinya penuh angkara murka. Di atas kepalanya, awan gelap menggulung menghujankan duka, hatinya perih bagai luka menganga. Saat itu juga, ingin rasanya segera pergi ke kafe di ibu kota, meminum kopi yang dipesankan Jesica, lalu mati dengan mulut berbusa.

Hari itu juga, suaminya langsung dicap sebagai musuh utama. Pergi begitu saja, mengubah statusnya menjadi janda, bahkan si kembar akan diajaknya ikut serta. Ibu mana yang mau dipisahkan dengan anak-anaknya, bahkan binatang pun tak suka!

Keesokan harinya, Rima hanya bisa terpana melihat si kembar direnggut oleh bekas suaminya. Dibawa pergi dengan sedan mewah buatan Eropa, hilang di ujung jalan untuk selamanya.

***

Menjelang tengah malam, seorang perempuan berambut pirang, berdiri sendiri di bawah cahaya lampu jalan yang tak benar-benar terang. Sembari menyesap rokok putih berbatang-batang, sesekali matanya menerawang ke arah langit yang tak berbintang. Sedangkan tubuhnya dibalut pakaian minim nan menerawang, sungguh merangsang, pertanda undangan bagi para pria hidung belang.

Seketika senyumnya mengembang, saat tamu yang ditunggu-tunggu melipir datang. Tak lama bersepakat soal uang, lalu naiklah ia di kursi depan, dibawa sang tamu yang sudah tak tahan, untuk menuntaskan hasrat serupa surga yang terlarang. Ia merebahkan tubuhnya di ranjang, membiarkan si tamu menyingkap segalanya sampai ia dibuat telanjang. Saling mencumbu dan mengerang, lalu diterjang hingga menggelinjang. Kenikmatan pun berakhir menyisakan kaki-kaki yang mengangkang.

“Kau puas? Ya, kau tentu puas. Tubuhku basah oleh keringatmu yang deras, wajah bajinganmu memelas, tak lama lagi kau akan tertidur pulas. Sedangkan aku, aku hanya rindu anak-anakku yang kini keberadaannya tak pernah jelas.”

Sudah masuk tahun ke-5, setiap malam ia lewati dengan menjajakan cinta. Cinta palsu tentunya, ejakulasi yang utama. Dari seorang gadis desa yang dikecewakan cinta, kini berubahlah ia menjadi seorang primadona. Dicari banyak pria yang hanya ingin mencari objek pelampiasan nafsu semata. Pria mana yang tak tahu namanya, di jalanan dan di lokalisasi semua mengendus-endus aroma seorang Rima.

“Rima begitu bergairah, Rima tak pernah mau kalah, Rima jago mendesah, Rima membuatku jadi payah, soal harga Rima terbilang murah.” Begitu yang dikatakan oleh pria-pria yang telah menggunakan jasanya. Tapi Rima tak pernah merasa jumawa. Hari-harinya justru perih disayat luka lama. Ingat si kembar yang mungkin kini sudah pandai berbicara, dan mulai mempertanyakan segala apa yang dirasa. Di tengah kesibukannya menyediakan nikmat surga dunia, ia rindu akan cinta.

Begitu mudah semua pria mendapatkan Rima, tanpa pernah tahu siapa Rima sebenarnya. Rima membuai mereka dengan kata-kata mesra, Rima menyentuh mereka dengan senyumnya yang penuh pesona, Rima membiarkan mereka mencapai hasrat dengan selangkangannya yang terbuka. Rima seakan-akan terlihat gembira menjalani hidupnya, tanpa seorang pun bertanya apa yang ia rasa.

“Aku sebenarnya tak pernah mau berkisah. Tapi, aku sudah bosan pasrah dan mengalah, aku sudah muak berkata terserah.”

Semua orang begitu mudah mencapai hasrat mereka melalui Rima. Rima hanya sekadar kenikmatan sementara, lalu kemudian mereka lupa. Lupa siapa Rima sebenarnya, lupa bertanya untuk apa ia ada. Rima pun semakin tenggelam dalam nikmat surga, di balik neraka yang nyata! [Candra]

Leave a comment

search previous next tag category expand menu location phone mail time cart zoom edit close