Jalan Maskun

jalan-maskun

Lelehan keringat di dahinya segera ia seka menggunakan lengan bajunya, seadanya, sekilat mungkin, agar tak mengganggu kerja mata yang tengah awas ke depan. Sesekali mata itu melirik ke arah kiri atau kanan, sedangkan spion yang mencerminkan bagian belakang tak sempat ia hiraukan. Maskun, memang sedang terburu-buru.

Semakin gelap warna langit, semakin pula ia memburu waktu. Kaki kanannya yang menempel di pedal gas tengah mengintai, siap menginjak dalam-dalam kalau-kalau ada celah terbuka di jalanan yang sesak oleh kendaraan. Kaki kirinya memang menempel di pedal rem, tapi ia tak berniat menginjaknya di saat-saat genting seperti ini. Alih-alih ingin tancap gas, ia malah lebih sering menginjak pedal kopling. Jalanan macet. Menjelang magrib, jalanan memang kerap diperebutkan banyak orang, ada yang ingin cepat-cepat pulang atau baru saja pergi bertaruh peruntungan.

Begitu pun Maskun, bukan tanpa alasan ia tiba-tiba menurunkan semua penumpang sebelum sampai tujuan. Muatan penumpang sengaja ia kosongkan, pintunya pun ditutup, sebagai tanda ia tak lagi menerima jasa angkut di hari itu. Hari yang ia khususkan, telah pula direncanakan, selepas waktu Isya nanti ia akan memerangi kemaksiatan, demi tegaknya kebenaran.

Maskun tak ingin terlambat di hari istimewa ini. Semangatnya berkobar ingin cepat memenuhi panggilan Tuhan. Angkot yang dikendarainya menyalip semua kendaraan yang menghalangi, lewat kiri atau kanan. Klakson nyaris setiap saat ia bunyikan, bagai seruan: “Minggir kalian para kafir, jangan halangi jalan kebenaran!” Maskun tak pedulikan makian pengemudi lain yang terganggu olehnya, telinganya disumbat bunyi dalil yang menyuarakan jihad.

Begitu lihai Maskun berusaha melepaskan diri dari jeratan kemacetan, kakinya cekatan memainkan pedal-pedal, tangan kirinya lincah mengoper-oper persneling, kemudi ia putar-putar cukup dengan tangan kanannya saja. Dengan keterampilannya itu, angkot yang dikemudikannya sudah mendekati muka perempatan jalan, sumber dari kemacetan. Nyala lampu hijau di perempatan itu memang sangat sebentar dibandingkan nyala lampu merahnya, yang kerap menimbulkan antrian panjang kendaraan, apalagi di jam-jam sibuk.

Angkot Maskun sudah berada di muka perempatan, selangkah lagi ia akan lolos dari kemacetan, ia siap tancap gas menuju kemenangan. Sayang, sedetik kemudian lampu lalu-lintas beralih ke warna kuning, lantas merah. “Perempatan setan!”, umpat Maskun. Kepalang tanggung, ia pun menerobos lampu merah berharap tak ada polisi yang bersembunyi. Angkot Maskun tancap gas membelah perempatan jalan, penglihatannya menggelap.

Keesokan paginya adalah pagi yang indah bagi Maskun, ditambah lagi tugasnya menegakkan kebenaran di jalan Tuhan semalam, berjalan lancar. Maskun merasakan bahwa pagi itu kekafiran sudah sirna di muka bumi ini, yang tertinggal adalah kebenaran yang semalam diperjuangkan pahlawan-pahlawan pembela Tuhan. Maskun bangga, karena ia salah satunya.

Sambil melahap pisang goreng buatan istrinya, senyumnya semakin mengembang setelah membaca judul berita di halaman depan surat kabar pagi itu: “Acara Bedah Buku Dibubarkan Ormas”. Maskun bangga ia menjadi bagian dari berita itu, tanpa membaca isinya ia melipat koran itu lalu membantingnya di atas meja. Tanpa ia ketahui, di sudut halaman depan surat kabar itu, kolom terakhir memberitakan: “Seorang Anak Tewas Tabrak Lari”. Mesin angkot Maskun menderu tanda siap membelah jalanan. [Candra]

Foto: http://rizky-imanul.heck.in/

 

1 thought on “Jalan Maskun

  1. Baca lagi cerpen ini berulang-ulang, gelooooo… Bikin reuwas!

    Like

Leave a comment

search previous next tag category expand menu location phone mail time cart zoom edit close