Ujian Nasib Onal

FRANCE-EDUCATION-BACCALAUREAT
Foto: abc.net.au

Onal masih belum mengerti. Menoleh ke kanan dan ke kiri, berharap jawaban dari pertanyaannya ada di kanan atau di kiri, tapi ia tak juga menemukannya. Saat menoleh ke kanan dan ke kiri, ia hanya melihat sepasang malaikat sedang serius mencatat dan mencatat. Entah apa yang mereka catat. Mereka sama sekali tak mempedulikan Onal yang kebingungan, mereka mencatat dan terus mencatat. Kertas yang mereka gunakan untuk mencatat, tampak tak ada habisnya.

Onal kembali menundukkan wajahnya, tak lagi berharap menemukan jawaban dari pertanyaannya ada di kanan atau di kiri. Tapi, ia belum mencoba area di depan dan di belakangnya. Inilah saatnya.

Onal sedikit memanjangkan lehernya, memicingkan matanya ke satu titik di depannya. Ia terus berusaha memanjangkan lehernya, sampai urat-urat leher menyembul di balik kulitnya yang berdaki. Tiba-tiba ia menurunkan lehernya sambil menghembuskan nafas kecewa. Tak ada jawaban yang dicarinya di depan, bahkan sekadar petunjuk pun tak ada.

Bagian belakang?

Siapa tahu jawaban itu ada di belakang?

Onal tersenyum. Ia teringat perkataan Bu Ai, guru sejarahnya. “Seperti naik motor atau mobil, kita harus melirik spion kadang-kadang, tapi pandangan tetap lurus ke depan, biar kita selamat sampai tujuan di depan sana. Itulah gunanya belajar sejarah.”

Senyum Onal semakin mengembang, berubah menjadi senyum tiga jari. Wejangan dari guru sejarahnya itulah yang membuat dadanya berdesir, ringan, dan semakin optimis. Segera saja ia menoleh ke belakang masih dengan senyumnya, senyum tiga jari.

Ya ampun, benar saja, banyak jawaban di belakangnya. Mata Onal berbinar-binar, senyumnya semakin mengembang dari tiga jari menjadi lima jari.

“Bu Ai memang benar, ia guru favoritku.”

Namun, raut wajah Onal seketika berubah. Ia tiba-tiba merenggut, senyum lima jarinya berubah jadi cemberut. Matanya berputar-putar, menelusuri tidak hanya satu jawaban, tapi puluhan bahkan ratusan jawaban di tembok bercat abu-abu yang kini ada di hadapannya.

“Aceng Love Lilis”

“Punk Not Dead”

“Persib Nu Aink”

“No Love Just Sex”

“Tai”

“Dilarang Corat-Coret Di Sini!”

“Maneh Corat-Coret!”

“BAE”

“Udah-Udah Jangan Berantem”

“WADUK”

Dan seterusnya, dan seterusnya.

Banyak yang tertulis di tembok bercat abu-abu tepat di belakang Onal duduk. Ia tak sanggup membacanya satu per satu. Ya bisa saja semua itu jadi jawaban, tapi bukan jawaban yang menjawab pertanyaannya. Matanya mulai lelah, pikirannya suntuk. Ia kembali membalikkan wajahnya menghadap ke depan, lalu menunduk.

Sret. Sret. Sret. Sret. Bunyi kertas yang beradu dengan ujung pena masih tak berhenti. Sepasang malaikat masih sibuk mencatat dan mencatat. Onal kembali melirik ke kiri dan ke kanan dengan tatapan tajam.

“Mengesalkan sekali mereka, hanya sibuk mencatat dan mencatat. Berisiiik..”

Terlintas dalam benak Onal untuk menanyakan jawaban yang ia cari pada sepasang malaikat itu, tapi ia mengurungkan niatnya. Ia terlalu kesal, dan terlalu cepat putus harapan.

“Paling-paling mereka akan memberikan jawaban yang tidak aku cari.” Mencari jawaban? Berarti ia sudah tahu jawabannya, hanya saja ia kehilangan.

“Lima belas menit lagi waktu habis. Yang sudah selesai bisa dikumpulkan kertas jawabannya. Periksa kembali nama dan nomor peserta ujiannya, ya!”

Beberapa kawan krasak-krusuk nyaris bersamaan. Ada yang melipat lembar soal, menempatkan alat tulis ke dalam kotaknya, lalu beranjak dari kursi, berjalan menuju meja pengawas untuk mengumpulkan lembar jawaban masing-masing.

Sepuluh menit kemudian, kelas sudah kosong sebelum waktunya. Menyisakan Onal seorang diri, tertunduk lesu.

“Lima menit lagi, ya!”

Onal menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Telinganya mulai sebal mendengar ujung pena yang menggores kertas. Sepasang malaikat sedang mencatat dan mencatat. Onal mencoba meredam suara itu, menutup kedua telinganya dengan sobekan kertas kotretan yang ia linting sampai berukuran pas dengan lubang telinganya, yang kemudian ia mampetkan. Tapi percuma, suara itu tak bisa diredam. Sret.sret.sret.

Waktu tinggal tiga menit lagi. Onal menjauhkan pandangannya ke luar kelas, menembus kaca jendela. Terlihat teman-teman sekelasnya sedang melakukan kegiatan pasca-ujian.
Ningsih, terlihat sedang sibuk melentikkan bulu matanya di balik cermin kecil yang menempel di tutup kotak bedak. Setelah dirasa cukup, ia beranjak dari duduknya, lantas masuk ke dalam mobil sedan mewah yang menunggu di depan gerbang sekolah. Ningsih cantik, roknya pendek. Onal sempat jatuh hati padanya, tapi tak jadi. Entah.

Aceng sedang sibuk merebut bola basket dari kuasa lawan bermainnya. Ia tampak bersemangat, seragamnya kleweran, ikat pinggang sudah tak sanggup menahan seragamnya dalam keadaan rapi. Aceng selalu berteriak penuh kemenangan saat bola berhasil direbut, atau berhasil mencetak tiga angka. Dan Aceng, akan berkelahi jika ia kalah, mencoba mencari kemenangan dengan jalan lain yang salah.

Johan, terlihat sedang asyik memainkan handphone-nya. Di belakangnya beberapa kawan lain ikut menonton layar dari handphone yang dipegang Johan. Sesekali mereka tertawa, tersenyum, terbelalak, lalu menutupi apa yang mereka lakukan ketika sadar ada seorang guru yang lewat di depan mereka. Johan memang populer di sekolah, dia dijuluki Pangeran Trijipi.

Ada Adon yang baru selesai merokok di WC, ada Tika yang sedang dirayu Maman, dan banyak lagi. Riuh pasca-ujian. Mereka tampak senang.

Onal kembali tertunduk, menarik kembali pandangannya dari luar kelas. Ia melirik ke kanan dan ke kiri, sepasang malaikat sedang mencatat dan mencatat. Sret.sret.sret.

Tenonenone noneeet…

Simfoni Beethoven yang dijadikan nada dering bel sekolah berbunyi memekakkan telinga, tanda bahwa waktu ujian harus selesai.

Pengawas melihat Onal, berharap Onal segera mengumpulkan lembar jawaban. Onal belum siap mengumpulkannya, ia takut, ia masih gamang, masih banyak keraguan di dalam hatinya yang muda.

Sial. Waktu habis. Teriak Onal dalam hati. Aku belum tahu jawabannya, meskipun aku tahu, aku belum mengerti.

“Sudah selesai? Ayo kumpulkan!”

Sejenak Onal melirik pada pengawas, lalu tertunduk lagi.

Tak ada cara lain, mungkin ini satu-satunya cara yang masih mungkin dilakukan.

Onal menoleh ke kiri lalu ke kanan. Tak ada cara lain, ia akan bertanya pada sepasang malaikat itu. Onal merasa bodoh, tapi apa boleh buat. Ia harus tahu jawabannya sekarang, atau ia gagal dalam ujian. Pengawas mulai mendekat, sudah tak sabar ingin segera merebut lembar jawaban Onal. Onal cepat bertanya pada sepasang malaikat di sisi kiri dan sisi kanannya:

“Setelah ini, apa yang harus aku lakukan?”

Mendengar pertanyaan Onal, sepasang malaikat langsung menghentikan kegiatan mencatatnya, sejenak tertegun, lalu memandang Onal yang masih kebingungan. Ketiganya terdiam. Onal menunggu jawaban, namun kedua malaikat itu, sepasang malaikat itu kembali tenggelam dalam catatannya. Mereka mencatat dan mencatat. Sret. Sret. Sret. [Candra]

Leave a comment

search previous next tag category expand menu location phone mail time cart zoom edit close