Ketika Masa Depan Tidak Punya Masa Depan

Oleh: Candra Asmara (@candrsm)

duy18ekvqaa2dzj

“Tidak ada istilah tidak punya masa depan. Semua orang hidup punya, bahkan yang sudah mati. Masa depan tidak melulu soal waktu di masa mendatang, hari ini bisa dibilang masa depan juga, bagi masa lalu. Dan masa lalu adalah masa depan bagi masa lampau dari masa lalu.” Kemudian Juno mengulum bibir Mei. Ciumannya turun ke leher.

“Orang mati punya masa depan?” Mei membuka kancing kemeja Juno satu per satu.

“Iya punya.” Juno mendekap tubuh Mei, tangannya menggapai-gapai kaitan bra untuk melepasnya.

“Apa?” Mei menjambak rambut Juno.

“Masa depannya adalah dilupakan.” Juno merebahkan Mei, mata beradu mata.

“Ah, kamu mengada-ada saja.” Cepat Mei beranjak mengangkangi Juno yang kini merebah.

“Memang. Seperti masa depan, kan.”

Belum sempat Juno menggapai payudara indah yang terpampang di hadapannya, Mei menjatuhkan badannya ke samping Juno. Percakapan di atas tempat tidur menghening, sebelum akhirnya dipecahkan lagi oleh kegelisahan yang menghantui pikiran Mei.

“Tapi aku tetap merasa tidak punya masa depan.” Mei yang setengah telanjang tidur menyamping memunggungi Juno yang tengah menghela nafas, mencoba menahan berahi yang kadung mengubun.

“Kamu harus membedakan mana masa depan dan mana tujuan.” Dengan nada kecewa Juno berkata. Sebatang rokok mulai ia nyalakan dalam usaha mengalihkan pikirannya, bercinta dengan Mei malam ini. Lagi.

*

Kapanpun masanya, bercinta tetaplah sama. Adegan ranjang juga tak berbeda. Saling merangsang, mengangkang, mengerang, kemudian lega sekaligus lelah yang menenangkan. Intinya tetap sama, yang membedakan hanya turunan-turunannya, dalam usaha agar seks tidak menjadi aktifitas yang membosankan.

Sudah sekian lama, Mei menjadi rekan ranjang Juno. Bertahun-tahun. Selama itu pula, Juno tak lagi berhasrat kepada istrinya di rumah. Mei yang seumur hidupnya belum pernah pacaran, sepakat menjalani hubungan kasual dengan Juno. Status mereka adalah rekanan, komitmen mereka adalah ranjang, hubungan mereka atas dasar kesepakatan tak ada paksaan. Tak harus ada cemburu, tak mesti ada rindu. Jika salah satu sudah bosan, maka silakan pergi, dan tak perlu ada elegi-elegi patah hati. Begitulah kiranya kesepakatan mereka.

Kesamaan dalam hal hasrat seks berlebih yang mempertemukan mereka. Mereka bertemu di toko peralatan seks. Saat itu Juno yang mulai bosan dengan istrinya, bertemu Mei seorang gadis cantik dengan kerling mata yang mengundang. Tak perlu waktu lama, di toko itu pula mereka menjalin kesepakatan.

Meski sudah bertahun-tahun meranjang bersama Mei, Juno tak pernah bosan. Begitupun sebaliknya, Mei tetap setia melayani Juno, tak ada niatan berbagi ranjang dengan pria lain. Kesepakatan awal yang hanya berkisar sebatas selangkangan, tak disadarinya juga menjerumuskan perasaan. Terlihat di ranjang, Mei dan Juno tidak lagi hanya berbagi desah, tetapi juga berbagi kisah.

Juno yang lebih sering berkisah. Menceritakan atasannya yang menyebalkan, istrinya yang sama sekali tidak menggairahkan, politik, sosial, budaya, sastra, filsafat, nyaris semua kegelisahan yang ada di kepala diceritakannya pada Mei. Mei yang memang suka mengobrolkan apapun, dari hal ideologis sampai pragmatis, akan senang menyimak semua perkataan Juno. Tak hanya menyimak dalam diam, Mei yang berwawasan luas, menanggapinya dengan segala macam teori dan argumen yang tak pernah terpikirkan Juno sebelumnya. Mei pendengar yang baik, seorang pendengar yang baik tentu cerdas, dan Juno merasa dilengkapi oleh sosok perempuan semacam Mei. Mei tidak lagi sebatas pemuas kebutuhan, kini juga dirindukan.

*

Mei tak pernah semenyebalkan ini sebelumnya. Ia memang masih setia di ranjang, tetapi dengan membawa suatu kegelisahan. Kegelisahan yang awalnya hanya milik Juno, kini merembet pada Mei. Kuping Juno mulai pekak, karena setiap kali meranjang, Mei selalu mengungkapkan kegelisahannya itu.

Tak peduli Juno sedang mengulum bibirnya atau menjilati seluruh permukaan kulitnya, alih-alih desahan kenikmatan yang terdengar, justru ungkapan kegelisahan yang keluar dari mulutnya. “Aku tidak punya masa depan. Aku tidak punya masa depan.”

Juno agak terganggu dengan kalimat itu, tetapi tak menanggapinya. Juno terus merambah tubuh Mei. Berakselerasi, improvisasi, lalu penetrasi. Juno melenguh nikmat, tapi Mei lagi-lagi dengan respon dingin: “Aku tidak punya masa depan. Aku tidak punya masa depan.”

“Brengsek!” Sekilat Juno keluar dari gelanggang gairah, urung menuntaskan hasratnya yang menggumpal. Kini, Juno merasa sedang bercinta dengan tembok dingin yang hanya bisa berkata, “Aku tidak punya masa depan. Aku tidak punya masa depan.” Bahkan, tembok lebih baik karena ia tak mengoceh.

Sering terjadi, Juno menemui Mei di ranjang hanya untuk membahas soal masa depan. Mei berlagak tak peduli lagi pada kegelisahan Juno. Segala kegelisahan Juno hanya ditanggapinya dingin, lalu malah Mei yang membuka topik obrolan baru tentang: “Aku tidak punya masa depan.” Tak jarang, Juno memilih ke luar kamar untuk menghabiskan berbatang-batang rokok, daripada harus mendengarkan ocehan Mei tentang masa depan.

Pernah suatu ketika, dengan dalih dinas luar kota pada istrinya, Juno membawa Mei berlibur. Siapa tahu dengan liburan, Mei yang dahulu akan kembali. Mei yang liar di ranjang dan hangat dalam percakapan. Juno rela menghabiskan gajinya untuk menyewa kamar di hotel mewah, tiket pesawat dan mengunjungi tempat-tempat wisata eksotis. Juno mencoba segala usaha agar terlihat lebih romantis di mata Mei, bagaimanapun Mei adalah perempuan. Romantis memang klise, tapi biasanya berhasil.

Mei memang terlihat senang ketika berjalan-jalan sambil bergandengan tangan bersama Juno. Ekspresi Mei yang dingin mulai mencair. Senyumnya mulai mengembang. Juno yakin, di kamar hotel nanti, Mei yang dahulu akan kembali. Juno akan habis-habisan menggempurnya. Juno sudah tak tahan.

Di ranjang bertaburkan mawar, Juno mengecup kening Mei perlahan sembari merebah bersama. Mei menutup matanya, pakaian lepas satu per satu, perlahan tapi menggairahkan. Juno seakan-akan memperlakukan malam itu sebagai malam pertama bersama Mei. Bulan madu tidak harus bersama istri, pikirnya.

Mei mendesah, Juno semakin yakin Mei sudah kembali. Juno semakin melancarkan serbuannya ke berbagai arah, gunung, lembah, dan hutan tak terlewat dirambah. Mei menggeliat-geliat, Juno sudah bersiap dalam posisi konvensional. Sesaat sebelum Juno penetrasi, Mei membuka mata tiba-tiba. Memandang ke arah Juno, Juno menunggu cemas apa arti tatapan Mei. Mei membuka mulutnya, berkata pelan agak tertahan, “Aku tidak punya masa…”

“Depan. Ya kamu tidak punya masa depan.” Juno meneruskan kalimat memuakkan itu sambil menjatuhkan diri ke bibir ranjang, terduduk merenung, tak pernah ia merasa sesendiri itu. Di saat bersamaan, ia langsung teringat istrinya di rumah.

*

Juno teringat kesepakatannya bersama Mei. Ketika salah satu di antara mereka bosan, maka boleh pergi meninggalkan. Juno merasa harus meninggalkan Mei sekarang juga. Mei sudah banyak berubah.

Selepas pulang bekerja, Juno menemui Mei di ranjang. Mei semakin terlihat tidak menggairahkan, raut mukanya semakin dingin sedingin ranjang mereka.

“Aku harus melepasmu.”

“Lepas? Aku bisa pergi ke mana? Aku tidak punya tujuan, aku tidak punya masa depan.”

“Maksudku, aku harus memulangkanmu.”

Mei terdiam. Perlahan ia berjalan ke depan meja rias, bercermin menatap wajahnya sendiri. “Aku tidak punya masa depan.” Mei berkata sambil meraba kulit mukanya yang mulus, tak bernoda sedikitpun.

“Mei, kau juga tahu. Masa depan pasti akan datang, semua punya masa depan. Tak perlu tujuan untuk punya masa depan. Masa depan bukan milik siapapun, ia datang dengan sendirinya. Sudah pernah kubilang, masa depan berbeda dengan tujuan.”

“Apa tujuan hidupmu?”

“Aku tidak punya.”

“Apa yang terjadi dengan masa depanmu, jika kau tidak punya tujuan?”

“Aku akan menua. Sakit-sakitan. Lalu mati.” Juno terdiam sesaat setelah mengucapkan kalimat itu. Lalu memandang ke arah Mei yang tersenyum simpul.

Mei menghampiri Juno, memeluknya erat lalu berbisik di telinga Juno. “Bahkan aku tidak menangis, aku tidak lapar atau haus. Aku tidak akan menua, wajahku akan tetap mulus tanpa keriput. Yang aku tahu hanya melayanimu di ranjang, memuaskanmu, berbicara denganmu. Beruntungnya kau masih bisa tua lalu mati.”

Mei melepas pelukannya, Juno mematung. “Dan satu lagi, aku memang tampak hidup, tetapi aku mati di dalam.” Mei menunjuk ke dada Juno.

Saat-saat perpisahan Mei dan Juno disela oleh bunyi klakson dari arah luar. Mobil yang akan membawa Mei pulang sudah tiba.

“Aku pergi, Juno. Senang pernah bersama dengan kamu.”

Juno hanya bisa melihat Mei berjalan pergi, menengok lewat jendela memastikan bahwa ia pergi untuk pulang.

Seminggu berlalu, sejak Mei pulang membawa kekhawatiran masa depan. Sementara Juno kembali pada istrinya. Istrinya memang sering mengoceh juga, tapi tidak ketika sedang bercinta. Cukup. Juno memantapkan hati, bahwa ia hanya akan bercinta dengan sang istri, betapapun tidak menggairahkannya.

*

Di tengah derasnya hujan malam-malam, diiringi desahan demi desahan dan bunyi decitan ranjang, telepon genggam Juno berdering. Gairah sepasang suami istri mendadak buyar, dan menghentikan perburuan kenikmatan untuk sementara. Sang suami terburu-buru mengangkat telepon. Sang istri tergolek lemah setengah terganggu.

“Halo, bagaimana, Pak?”

“Begini Pak Juno, saya sudah terima keluhan dari Bapak. Memang  robot unit seri MEI-080687 mengalami korslet pada sensor otak elektroniknya. Sehingga bahasa program mengalami miskonsepsi. Namun, masih bisa kami ganti chip sensoriknya, Pak. Jika Bapak setuju dengan biaya penggantian suku cadang, besok siang sudah bisa kembali normal. Bagaimana, Pak?”

Mendengar kabar itu, Juno mendadak cemas. Ia melirik pada istrinya yang sedang meringkuk di balik selimut. Juno menimbang-nimbang, lalu harus ambil keputusan.

Setengah berbisik Juno menjawab, “Sebentar, kalau tidak salah, saya masih simpan kartu garansinya.”

*

Ilustrasi foto: Tangkapan layar dari film Night and Day (2008)

Leave a comment

search previous next tag category expand menu location phone mail time cart zoom edit close